My Goals, Kamu Di Mana? part 7
Sehari, dua hari hingga sampai berhari-hari, akhirnya si satu-satunya gadis ini pun bisa membaur dengan para ibu. Ah, rasanya sungguh menyenangkan, karena silaturahmi itu mengalir saja tanpa dipaksa untuk terjalin, hingga ada banyak tawa dan canda yang mewarnai hubungan antara aku dan para ibu.
Ya, aku memang mencari peluang di sana, tapi tujuanku pdkt tentu saja bukan hanya sebatas mencari target prospek atau mendekat karena ada ‘modus’. Melainkan untuk berteman, dengan atau tanpa closing-an pun tak apa.
Walau begitu, ada juga beberapa ibu yang akhirnya memberikan data diri dan keluarganya, untuk aku buatkan ilustrasi manfaat asuransi dan investasi. Ah, senang rasanya, karena itu berarti mereka mulai percaya padaku untuk melayani pengelolaan keuangan dan kesehatan mereka.
Mulanya aku begitu bersemangat, hingga kata-kata yang begitu mengejutkan pun aku dengar kemudian ...
“Asuransi itu kan riba Mbak, ada unsur ghoror dan maisir-nya di sana. Ada ketikdakpastian, ketidakjelaskan dan spekulasi kan Mbak. Bayar premi setiap bulan, uang akan cair kalau kita sakit, kecelakaan atau meninggal dunia, yang sifatnya nggak pasti kemungkinan terjadinya, lalu kalau enggak? Uangnya hangus? Kalaupun ada uang yang diinvestasikan, itu juga jadi dua bagian yang terpisah kan ya? Bagian yang diasuransikannya tetap saja mengandung unsur riba,” ucap salah satu guru yang sempat kutawarkan membuka polis asuransi dan investasi.
Aku terdiam dan tak tahu harus berkata apa, karena mendengar pernyataan itu rasanya seakan ditampar.
'Ah benarkah yang kujalani selama ini adalah riba?' pertanyaan itu mencuat di benakku, membuat keraguan mengikat di hati ini bersama gelisah.
Karena riba yang aku tahu selama ini hanya sebatas bunga bank, kartu kredit dan uang berlebih pada pinjaman. Aku benar-benar tak tahu kalau asuransi itu juga termasuk ke dalam riba, apalagi banyak juga teman muslimku yang berkecimpung di dalamnya, bahkan sampai memiliki polis.
[Kita kan ada produk syariahnya Nay, coba kamu pelajari lagi di training pusat …] jawab Mbak Tifani menanggapi cerita ku melalui pesan singkat.
Sejak saat itu aku terus berusaha mencari beragam informasi tentang riba dan asuransi. Aku benar-benar gelisah, hingga bertanya-tanya, apa perjalanan berjuangku selama ini telah salah jalan? Ah, dunia asuransi ini rasanya seperti sebuah kesempatan yang datang di saat aku butuhkan, dengan beberapa kemudahan dan ragam nasehat kehidupan yang baik di dalamnya.
****
Di saat hati ini sedang dilanda galau, kepanikan pun datang tanpa diundang. Ayah mengalami serangan stroke ke tiganya, seluruh tubuhnya lumpuh total, untuk berbicara beliau tak bisa, bahkan pandangan matanya pun hanya bisa melihat pada satu arah saja. Aku dan Ibu yang hanya berdua saja meghadapi kondisi Ayah begitu panik, dengan segera kami pun membawa Ayah ke rumah sakit.
Ayah diangkat dari tempat tidurnya oleh beberapa orang ke dalam taksi, karena aku dan Ibu tak mampu untuk memapahnya.
Tangisku tak bisa dibendung sama sekali, mengalir saja air mata ini melihat kondisi Ayah, dari sepanjang perjalanan ke rumah sakit hingga beliau diperiksa oleh dokter jaga di ruang UGD.
“Ayah Mbak sudah mendapat pertolongan pertama, sepertinya ada pembuluh darah yang pecah di kepalanya, harus masuk ruang ICU …” kata dokter memberi tahu.
Hati ini semakin digelayuti rasa sedih, dengan segera kuhubungi Mas Dion yang saat itu sedang berkerja, memintanya untuk segera datang menyusul kami. Mbak Giyapun kuhubungi, walau kondisinya tak memungkinkan untuk segera menyusul ke Rumah Sakit.
“Silahkan diurus di depan dulu ya Mbak, ke ruang pendaftaran rawat inap,“ kata seorang suster kepadaku sambil menyerahkan selembar kertas. Aku kemudian bergegas melangkah menuju ruangan yang ditunjukkan.
“Ada asuransinya Mbak? Atau bayar pribadi?” tanya seseorang di meja pendaftaran.
Segera kuambil kartu Askes milik Ayah yang dipegang Ibu. Ayah merupakan seorang pensiunan pegawai negeri sipil golongan atas, Askes Ayah termasuk kelas atas, hingga kupikir semuanya akan mudah untuk diurus.
Satu jam, dua jam, sampai beberapa jam kemudian aku dan Ibu hanya diminta untuk menunggu, kata pihak rumah sakit ruangan ICU-nya sedang penuh. Kami lalu duduk di ruang tunggu umum yang jaraknya tak terlalu jauh dari ruang UGD, tak bisa berlama-lama menunggu Ayah di dalam, karena ruangan sudah penuh dengan pasien dan tempat tidurnya di dalam.
“Mbak, kenapa Ayahnya?” tanya seseorang yang baru saja keluar dari ruang UGD dan duduk disebelahku, sepertinya ia juga sedang menunggu keluarganya yang sedang sakit.
“Kena serangan stroke Mbak …” jawabku.
“Ah, kasihan, ini Ibu saya juga udah seminggu di sini, susah dapat ruang rawat inapnya Mbak. Kata pihak rumah sakit ruangannya penuh. Tapi ya gitu, saya enggak ngerti juga sistem di sini gimana, karena ada juga beberapa pasien yang baru dateng, masuk ke UGD sebentar, terus kayanya langsung dipindah dapet ruangan.” Kali ini ucapannya membuatku semakin gelisah. Kutatap ruangan UGD Rumah Sakit umum dari balik pintu kacanya, tampak sekali kalau ruangan itu begitu tak layak untuk Ayah berlama-lama ada di sana.
Bersambung ...
Yaa ... sampai di sini dulu aja ya sahabat. Cerita selanjutnya gimana? In syaa Allah nanti akan saya sambung lagi ya, entah dalam bentuk postingan lagi atau buku (*aamiinin dulu aja hihi, ini juga masih banyak yang perlu dibenahi dulu buat sampai menjadi buku :D ).
Oiya kalau ada kritik dan sarannya silahkan di kolom komentar ya sahabat.
Belum ada Komentar
Posting Komentar
Silahkan share saran, kritik, ilmu, inspirasi positifmu di ilmair. Berkomentarlah dengan bijak. Spam akan saya hapus.
Mohon di-setting publik profile blog-nya ya, agar tidak ada profile unknown yang bisa menjadi broken link di blog ini.
Terima kasih ....