belajar dan kehidupan
cerita inspiratif
inspirasi hidup positif
novelet
setetes cerita
My Goals, Kamu Di Mana? part 3
19.03.00
7
Ilmair lanjutkan cerita inspirasi, kisah faksi berjudul "My Goals, Kamu Dimana?", sahabat bisa baca tulisan sebelumnya "My Goals, Kamu Di Mana? part 1" dan "My Goals, Kamu Dimana? part 2", semoga menginspirasi, selamat membaca.
Acara hari itu pun akhirnya di tutup dengan tepukan semangat dari semua yang datang. Diiringi dengan musik, serta tampilan video tentang bonus tahunan, yaitu trip ke beberapa Negara, jika para agen mampu mencapai target yang telah ditentukan.
“Ayo Nay! Jadikan itu goalsmu, semangat mencari prospek nasabah, dan rekrut agen baru Nay! Ayo masih ada waktu sampai akhir tahun!” suara Mbak Tifani terdengar setengah berteriak, karena suasana di ruangan itu masih begitu riuh.
Aku hanya menjawabnya singkat, “hummm … iya Mbak in syaa Allah, semangat!”
Kami keluar dari ruangan itu lalu berjalan menuju kantin di lantai dasar, bersama beberapa teman satu timnya Mbak Tifani. Energi di dalam tubuh ini rasanya memang terisi penuh. Terbayang di kepala ini berderet rencanaku ke depan untuk mencari prospek. Ya, walau itu masih sebuah rencana yang semoga mampu aku jalankan, bukan hanya sekedar jadi wacana yang kemudian terlupakan.
Usai makan siang aku ijin ke mushola, Mbak Tifani pun ikut beranjak dari duduknya, lalu pamit pada semua.
“Nay, kamu pulangnya naik commuter line aja ya, Mbak ada perlu ini, enggak apa-apa kan?” ucap Mbak Tifani saat hampir tiba di area parkiran.
“Ah, iya, enggak apa-apa Mbak duluan aja. Iya gampang nanti aku pulang naik commuter line aja.” Kami pun berpisah setelah ‘bercipika-cipiki’.
Selesai sholat aku langsung berjalan ke arah jalan raya, kemudian menyetop metromini yang akan membawaku ke Stasiun KRL Sudirman.
Hari ini merupakan hari kerja, sehingga suasana siang hari di stasiun tidaklah terlalu padat. Aku duduk di kursi tunggu stasiun, karena jadwal kereta yang akan kunaiki baru akan tiba sekitar 20 menit lagi. Tepat di sebelahku duduk seorang Ibu, yang sedang asik memainkan handphone-nya.
Saat ibu itu melirik ke arahku dan tersenyum, jiwa marketingku pun mencuat, ada gerakan dari dalam diri untuk mengajaknya berbicara,
“Keretanya lama juga ya Bu datengnya, tadi denger-denger masih beberapa stasiun lagi dari sini,” suaraku langsung meluncur ketika mata kami beradu untuk kesekian kalinya.
“Eh, iya nih Dek, mana panas banget juga ya cuacanya. Ibu pingin buru-buru sampai rumah ini, mana kaki Ibu juga udah pegel lagi.” jawab Ibu itu, sambil menyeka peluh di keningnya dengan tisu.
“Tapi bagusnya ini tuh jamnya sepi ya Dek, jadi pasti kebagian tempat duduk,” sambung ibu itu kembali.
Dari obrolan pembuka itu pun kemudian mengalir obrolan-obrolan lainnya, baik itu seputar commuter line, macetnya Ibu kota, juga seputar belanjaan dan perbandingan baju-baju di Thamcit serta Tanah Abang.
Ah, aku sendiri tak menyangka bisa sebegitu lancarnya kata demi kata ini megalir dari mulutku. Walau dari obrolan yang terjadi, aku lebih banyak mendengarkan si ibu bercerita.
“Eh, Adek kerja atau kuliah?” tanya ibu itu kemudian.
'Ting' akupun langsung menemukan sebuah peluang. Kukeluarkan buku dan pulpen dari dalam tas, kutawarkan untuk membantunya mengikuti program investasi yang menguntungkan, bersama kelebihannya yang bisa menjamin kesehatan di masa depan.
“Ah iya Dek, itu bagus banget, tapi kalau Ibu tuh nggak terlalu suka sama yang namanya investasi seperti itu. Lebih suka investasi bisnis yang langsung terjun jalaninnya. Nah ini, kaya bisnis kecil-kecilan ibu dek, jualan baju yang kaya gini ini. Jalanin sendiri itu lebih jelas Dek uang kita larinya kemana. Kan kalau investasi seperti itu kita kasih kepercayaan ke orang kan ya? Yang ngelola dan jalanin orang lain, kita cuma tahu beresnya aja. Dan, ah, itu juga enggak berasa perjuangannya Dek,” jawab ibu itu sambil menunjukkan bungkusan plastik yang berada di bawah kursinya.
Baru saja bibir ini akan bergerak merespon ucapannya, kereta yang akan kami tumpangi pun akhirnya datang. Kami memilih duduk di gerbong kereta khusus wanita. Dan seperti dugaan kami sebelumnya, gerbong itu begitu lenggang, hanya ada segelintir orang saja yang menempati kursi-kursinya.
“Coba sini Dek, Ibu lihat catatan Adek tadi … “ Kusodorkan buku yang berisi tulisan tangan ini.
“Oh, ini ada investasi untuk kesehatanya juga ya Dek, seperti asuransi gitu ya dek? Bagus programnya …” sambung ibu itu lagi.
“Iya Bu, jadi ini seperti kita investasi buat kesehatan juga Bu. Buat jaga-jaga. Kalau kata orang mah seperti sedia payung sebelum hujan. Walau preminya baru dibayar selama tiga bulan, tapi fasilitas kesehatannya udah bisa di klaim loh Bu! Daripada misalnya cuma nabung aja Bu, bisa lebih repot dong kalau ada masalah kesehatan mendadak dan uangnya belum terkumpul, iya enggak Bu?” kujabarkan penjelasan itu padanya, berharap sang Ibu tertarik membuka premi.
“Adek ini bisa aja. Humm … Iya sih Dek, betul juga, kita ini memang harus sedia payung sebelum hujan, mempersiapkan masa depan ya Dek? Tapi maaf, kalau Ibu boleh bilang, bahkan dibandingkan dengan nabung, ibu lebih suka investasi lain buat kesehatan dan kehidupan Ibu bersama keluarga di masa depan Dek. Lebih menguntungkan dan yang menjaminnya pun lebih bisa dipercaya …”
“Eh … ada ya Bu?” tanyaku sedikit penasaran, hatiku pun lalu mulai gamang.
Hummm .. rasanya hari ini aku salah membaca orang. Ah, salah menyasar prospek nih! pikirku.
Energi dari dalam diri yang semula mencuat pun rasanya sedikit demi sedikit mulai meredup.
“Investasi buat masa depan yang paling menguntungkan itu ya sedekah, Dek. Dengan sedekah kita bukan hanya dapat untung di dunia aja, tapi sampai ke akhirat juga kan Dek, kalau niatnya Lillahita’ala. Kalau dihitung dengan rumus biasa mungkin enggak akan ketemu ya nilai untungnya segimana. Keluarin aja uang, dititipin ke orang yang bahkan mungkin kita enggak kenal. Tapi kan udah ada yang nyatetin dan udah dijanjiin juga kalau sedekah itu seperti sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir terdapat seratus biji. Belum lagi banyak kebaikkan dari sedekah yang diantaranya bisa menyembuhkan penyakit juga, iya enggak Dek?”
'Jleeb!' penjelasan Ibu itu pun membuat aku serasa di ‘skak-matt’, hilang rasanya semua kata-kata yang telah kupelajari dalam menghadapi ragam pertanyaan prospek. Bibir ini tiba-tiba terasa kelu, benar-benar tak bisa mengucap satu kata pun. Hingga aku pun akhirnya hanya mengangguk saja sambil tersenyum.
Bersambung, selanjutnya di "My Goals, Kamu Di Mana? Part 4"
Previous article
Next article
hehehe.. saran yang bagus untuk berinvestasi. ini fiksikah?
BalasHapusmakasih Kakak sudah blogwalking ke ilmair, iya ini fiksi yang terinspirasi dari kisah nyata Kak, sebenernya tulisan chalange di fb yang belum saya tulis sampai finish, in syaa Allah di finishkan di blog ilmair
Hapuseh ralat in syaa Allah difinish-kan jadi buku, setelah direvisi agar lebih baik lagi tulisannya, dan yang baca suka dan terinspirasi ... (best seller barakahhu aamiin) :)
HapusCeritanya bagus. Saya pikir tulisan mba bisa dijadikan novel.
BalasHapusmakasih Kak, in syaa Allah aamiin. Walau ini tulisannya masih perlu direvisi dan saya masih belajar nulis banget ... kata-kata Kakak jadi motivasi, semoga jadi doa yang diijabah juga, doa yang terbaik juga buat Kakak aamiin.
HapusJleb banget, aku langsung teringat pada Nas Daily si vlogger kondang asal Israel itu. Bahwa investasi terbaik saat pandemi begini adalah berbuat baik, menolong orang, meringankan beban sesama--siapa saja semampu kita. Ya memang bagus kalau punya uang banyak bisa beli LM atau saham, tapi andai tak kunjung terkumpul uang banyak--bener banget investasi terbaik ya sedekah. Walau ini fiktif, saya punya cerita nyata. Akhir tahun lalu istri keguguran, harus dikuretase dengan biaya lumayan. Ga punya asuransi apa pun, alhamdulillah ada jalan pas habis operasi. Bisa pulang tanpa utang ke RS. Ya walau jujur memang waswas sih ga ada beking finansial kayak gini, manusiawi hehe....
BalasHapusMa Syaa Allah sharingnya, iya Mas betul, perbuatan baik akan kembali ke diri kita ya Mas, dan itu investasi yang paling terjamin, yang jaminnya aja Sang Maha yang janjinya nggak pernah ingkar ya
HapusMakasih Mas udah mengunjungi blog ini